Penulis adalah salah satu staff pendidik di bidang Pendidikan Bahasa Indonesia, clue cadel dan pintar merangkai kata, apalagi masa depan--
Langit September menyambut hariku dengan menggelarkan permadani birunya dihiasi kabut putih menggantung. Dedaunan masih enggan tampak bangun karena masih menyembunyikan embun dibalik dirinya. Kicauan burung satu per satu kudengar jelas. Bola api dunia melangkah senti demi senti. Akhirnya aku masih dapat bertemu langit September.
Kuhirup pelan aroma oksigen dari ambang pintu beranda rumah, sel-sel dalam tubuhku mulai menyambut kedatangan gas itu. Terucap syukur dari bibir tipisku, terimakasih Tuhan, karena masih mengijinkanku menikmati milyaran oksigen yang ada pada fatamorgana milik-Nya. Seusai sembahyang subuh, kupungut satu per satu daun yang kering di halaman. Menyerka setiap helai daun yang mengotori tempatku untuk menikmati senja.
Kulihat ayah masih dalam posisi yang sama, sedari tadi beliau masih membaca kitab suci melantunkan ayat suci untuk ibu yang sedang tertidur lelap di alam sana. Kulirik jarum jam telah melewati angka enam, pertanda aku harus berhijrah dari beranda ke dapur. Semenjak ibu menyerah melawan stroke, aku adalah wanita kedua yang mengatur semua urusan rumah.
Ada kalanya aku mempertanyakan status ayah yang sendiri sudah lima tahun ini. Kemungkinan beliau ingin melukis hidup bersama seorang tulang rusuknya yang baru. Tapi beliau hanya tersenyum dan menjawab, “Ayah tidak ada niat untuk melakukan hal itu. Tulang rusuk seseorang tidak akan terpisah dengan pemiliknya. Meskipun tulang rusuk ayah tidak ada, tapi dia masih utuh. Lagipula, sudah mencari ke belahan sudut bumi, ayah tidak menemukan bidadari cantik seperti ibumu. Melukis hidup bersamamu, itu sudah cukup. Tak ada lagi yang lain.”
“Ayah, sarapannya sudah siap.” Kataku dari ambang pintu kamar beliau.
Suasana ruangan itu masih sama. Masih diselimuti kehangatan dinding-dinding yang memeluk foto ibu. Ayah menutup kitab suci dan bangun dari duduknya. Menghampiri sebuah gambar seorang wanita berjilbab yang tersimpan di meja kerjanya. Mengusap lembut gambar yang dilapisi kaca itu. Beliau tersenyum dihiasi sepasang mata yang sedang menahan gejolak butiran-butiran di sudut matanya.
“Putrimu semakin hari semakin menyerupaimu. Dia tumbuh besar, dewasa, dan cantik. Namun hingga saat ini aku belum menerima tamu laki-laki yang bersedia menjadi imamnya. Entah kenapa, aku pun tidak tahu.” Canda ayah mulai menyelimuti suasana Minggu pagi langit September. Aku hanya tersenyum membalasnya, berusaha menari-nari dengan prinsip hidup yang sedang kujalani.
“Ayah, doa selanjutnya.” Ucapku setelah membaca doa wajib sebelum makan.
“Ya Allah, Sang Pemberi Rezeki yang tiada putusnya, berilah keridhoan-Mu kepadaku dan putri tercintaku dalam suasana sarapan pagi ini. Berikan keberkahan atas rezeki yang telah Engkau berikan pada kami. Jadikan makanan ini sumber energi untuk beraktifitas, terutama untuk beribadah kepada-Mu. Aamiin.”
Selepas mengucapkan doa sebelum makan dan doa pribadi, dengan lahap beliau menikmati makanan yang aku buat. Kulirik ke samping kiri, terlihat bayangan tubuh ibu duduk menatap kami dengan senyumannya yang menjanjikan kedamaian. Aku menikmati setiap apa yang kulakukan dengan baik.
Kebahagiaan itu tak harus selalu tampak, yang tak tampak pun masih dapat dirasakan. Itulah ucapan ibu yang selalu terngiang di telingaku. Kadang hidupku selalu dihadapkan pada dua pilihan yang sama sekali tidak dapat dipilih salah satunya. Dalam keraguan dan kegundahan itu, ibu selalu mengingatkanku, “Tutup matamu, letakkan tanganmu di sini.” Ucapnya sambil menggerakkan tanganku dan menyimpannya di atas dada. “Ingat Tuhanmu dan ingat orangtuamu, dengarkan sebuah suara dalam hatimu. Meski samar dan jauh, perjelas suara itu. Maka hatimu tidak berdalih seperti lidah.”
Dua tahun yang lalu, tepatnya pada akhir langit Juni, aku dihadapkan dengan dua pilihan yang harus kuambil salah satunya. Ketika itu, ada dua buah pilihan dalam hidupku. Yang pertama adalah melanjutkan kuliah ke jenjang S2 di Kairo, dan yang kedua adalah menetap di sini, di bumi Parahyangan dengan anak-anak jalanan yang aku ajari membaca, menulis, dan berhitung. Akhirnya yang kulakukan selain sembahyang istikharah adalah menutup mata dan meletakkan tanganku di atas dada mendengar suara yang jauh dari lubuk hati.
Dalam gelap kuperjelas suara itu, yang mengatakan bahwa aku harus memilih yang kedua. Kuturuti keinginan hatiku dan memilih pilihan yang kuharapkan itu adalah yang sangat baik. Alhasil semuanya berjalan dengan baik dan membawa berkah untukku. Tahun ketiga aku mengajar anak-anak yang memiliki mimpi dan cita-cita ini, membawa berkah tersendiri untukku. Ada seorang laki-laki tinggi putih yang menemuiku di kolong jembatan.
Setelah berbincang-bincang kurang lebih satu jam, dia menawarkan niat baiknya untuk mendirikan rumah singgah. Tentu saja dia adalah donaturnya. Sedangkan aku yang berprofesi sebagai penulis, tidak cukup banyak uang yang kumiliki hasil dari karya novel dan cerpenku. Akhirnya setelah memantapkan pilihan, aku menyetujui idenya. Dan aku menyumbang sebagian uang di tabunganku untuk pembangunan rumah singgah.
“Jihan.” Sapanya dari belakangku.
“Ya. Ada apa?”
“Setelah mengajar, kamu mau pergi ke mana?” Tanya lelaki yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama di sebuah perusahaan dekat Gedung Sate.
“Pulang. Ada yang mau dibicarakan, Zul?” Begitulah aku panggil namanya.
“Iya, ada. Bisa?” Aku mengangguk sambil tersenyum mengiyakan. Dia pun mengajakku ke sebuah tempat yang sudah tidak asing bagiku.
Perjalanan dari rumah singgah menuju rumahku memang cukup jauh. Zul kerap kali mengantarku pulang dengan alasan takut ada tindak kejahatan yang mengintai diriku. Aku selalu tertawa mendengar alasannya. Mungkin karena dia terlalu baik dan memperhatikan keselamatan seorang wanita.
“Kenapa kita ke sini, Zul?” Tanyaku heran memandang wajah Zul yang bersih putih.
“Duduk dulu, Jihan. Aku ingin berbicara penting.”
“Berbicara apa?” Aku duduk di hadapan Kawah Putih menatap sepasang mata yang teduh.
“Jihan, mungkin ini terlalu cepat. Tapi aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Takutnya menjadi zina mata dan hati. Sudah kuikuti hari-harimu selama empat tahun. Namun aku baru berani memunculkan diriku tahun ini.”
“Maksudnya? Aku tidak mengerti.”
“Jihan, tidak tahukah kamu bahwa empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk menanti usiamu cukup?” Zul meraba-raba saku celana dan saku jasnya. Kulihat dia mengeluarkan sebuah kotak merah berkain beludu. Zul membuka pelan kotak itu di hadapanku.
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Jihan, dengan ini aku meminangmu. Maukah kamu menjadi tulang rusukku?”
Seperti jubah angkasa yang mulai jingga, kawah di hadapanku bisu menjadi saksinya. Getaran dan debur ombak seolah berhenti. Jantung berdegup dengan ritme cepat mengelukan lidahku senja itu. Apa yang harus kukatakan? Akhirnya aku melakukan kebiasaanku.
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Zul, aku terima pinanganmu.” Jawabku setelah menutup mata, meletakkan tangan di atas dada, dan mendengarkan suara hati di dalam sana yang menyebut-nyebut kata ‘iya’.
“Alhamdulillah. Selepas dari sini, kutemui ayahmu untuk menentukan tanggalnya.” Ucapnya penuh bahagia sambil memasangkan cincin itu di jari manisku, tepat pada langit September hari ketujuh.
Sumber foto : Pixabay.com
0 Comments