(Sumber-Wikipedia: Sekolah partikelir untuk anak-anak pribumi pada masa Hindia Belanda)
InfoMJLK -- Di jaman kolonial tidak banyak masyarakat nusantara yang bisa mengakses pendidikan, pendidikan yang disediakan pemerintah Hindia-belanda hanya bertujuan untuk menciptakan manusia bermental inferior yang bekerja pada pemerintah kolonial. Di satu sisi pemerintah Hindia-belanda menjadikan pendidikan sebagai dominasi politik, ekonomi, sosial-budaya. Namun disisi lain bagi bangsa Indonesia pendidikan memberikan kontribusi besar dalam proses kemerdekaan. Dalam strategi politiknya pemerintah kolonial menggunakan 2 strategi politik yaitu politik etis (edukasi) dengan tujuan ekspansi wilayah dan politik devide at impera (pecah belah) yang memberikan dampak melemahnya perlawanan rakyat jajahan.
Kaum pergerakan di masa awal sangat menyadari arti penting bagi penguasa kolonial untuk menegakkan kekuasaan ekonomi, politik, dan sosial-budayanya. Semisal pernyataan Kartini: “Oh, sekarang saya mengerti, mengapa orang tidak setuju dengan kemajuan orang Jawa. Kalau orang Jawa berpengetahuan, ia tidak akan lagi mengiyakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin dikatakan atau diwajibkan oleh atasannya.” [Surat Kepada E.H. Zeehandelaar, 12 Januari 1900]
Seiring berjalannya waktu kaum gerakan mulai sadar bahwa dalam melawan kolonialisme dan imperialisme menjadikan pendidikan sebagai senjata. Oleh sebab itu pendidikan alternatif menjadi jalan utama dalam proses emansipasi dan melepas belenggu penjajahan. Tokoh gerakan seperti Kartini, Dewi Sartika melakukan pendidikan alternatif dengan sekolah perempuannya; kemudian Tan Malaka dan PKI dengan sekolah rakyatnya, dan Ki Hajar Dewantara dengan taman siswanya.
Melalui pendidikan kaum pergerakan bisa memberikan ide dan gagasan kebangsaan dan kemerdekaan kepada rakyat jelata. Seperti dikatakan oleh Tan Malaka, “cuma kita dengan pengajaran sekolah itu juga mesti bangunkan jiwa merdeka, sebagai manusia merdeka dengan bermacam-macam jalan.”
Pendidikan dan Kelahiran Nasionalisme
Pendidikan di indonesia mempunyai sejarah perjalanan yang panjang dari mulai jaman penjajahan pada tahun 1602 Indonesia masih dikuasai oleh pemerintah Hindia-belanda (belum merdeka) hingga sekarang berbentuk suatu bangsa/negara Indonesia. Gagasan nasionalisme sebagai ide modern mulai masuk dalam kesadaran pribumi melalui lembaga pendidikan. Pendidikan alternatif yang digagas oleh kaum pergerakan telah memberikan dampak positif terutama dalam memunculkan kesadaran dan memicu landasan untuk berfikir.
Setiap bacaan yang tersebar luas dikalangan rakyat merupakan buah pikiran kaum pergerakan dalam menyadarakan rakyat melalui gagasan kebangsaan (nasionalisme). Gagasan yang dimaksud adalah kesadaran sebagai nation: kesamaan kehendak, kesamaan nasib, dan kesamaan cita-cita yang bermuara pada paham kemanusian sehingga membentuk pengetahuan dalam membaca situasi atau keadaan, mencari akar persoalan, dan mengetahui strategi untuk mengubahnya.
Problem pendidikan
Kurikulum telah diterapkan di Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda dan Jepang sebelum kemerdekaan Indonesia. Namun, setelah Indonesia merdeka, kurikulum di Indonesia telah berganti beberapa kali di masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi
Pada masa Orde Lama, kurikulum di Indonesia mengalami tiga kali perubahan yaitu kurikulum tahun 1947, 1952 dan 1960. Masa Orde Baru, mengalami empat kali perubahan kurikulum yaitu kurikulum tahun 1968, 1975, 1984, dan 1994. Kemudian masa Reformasi terjadi pergantian kurikulum sebanyak tiga kali, yaitu Kurikulum B2004, KTSP 2006, dan Kurikulum 2013.
Persoalan pendidikan yang kian terlihat hari ini adalah norma dan mental siswa. Pendidikan sebagai sarana memanusiakan manusia perlu kita perhatikan prosesnya, andil berbagai pihak perlu ditegaskan hal tersebut bertujuan untuk mengawasi dan membimbing siswa agar tidak terjerumus kedalam hal negatif.
Selain persoalan pasar sebagai ekpolitasi sumber daya manusia terutama anak (peserta didik) sebagai objektifikasi dalam menjadi tenaga pekerja baik di pasar modern ataupun tradisional. Dari kemerosotan mental dan moral juga pendidikan dewasa ini memunculkan beberapa persoalan lain diantaranya adalah disorientasi masa depan dengan maraknya kasus bunuh diri, putus sekolah, bullying, pelecehan seksual dan akses pendidikan yang belum merata.
Kapital yang semakin luas membuat segala pengaturan pendidikan berorientasi pada kepentingan pasar mulai dari kurikulum, tenaga pendidik, hingga akses pendidikan itu sendiri yang belum merata. Belum lagi saat ini negara Indonesia telah dilanda wabah covid-19 yang berdampak buruk pada proses pendidikan terutama pembelajaran yang mengharuskan anak mempelajari pelajaran tanpa bimbingan langsung dari guru (daring).
Pembangunan jiwa bangsa sebagai cita-cuta nasional belum tercapai secara sadar, artinya ketika seseorang melakukan aktivitas ekonomi, politik, sosial-budaya tanpa dilandasi jiwa yang besar, jiwa yang berseri-seri, jiwa yang menengadah maka sesuatu itu tak akan berdiri kokoh. Maka dari itu pembangunan jiwa bangsa (nation and character building) perlu di terapkan kembali dalam dunia pendidikan guna memupuk jiwa kemandirian (self-reliance), sehingga orientasi siswa akan lebih terarah dalam menentukan masa depannya.
Pendidikan dan Cita-cita Nasional
Pada dasarnya perjuangan indonesia dalam mengusir penjajah adalah dengan pendidikan, sehingga dalam proses perjuangan nasional pendidikan mepunyai peran yang signifikan. Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan nasional pendidikan yang tertuang dalam naskah UUD 1945 yang sampai hari ini masih menjadi indikator dalam menentukan nasib bangsa Indonesia kedepan.
Proses pemaknaan kemerdekan atas dasar perjuangan tidak hanya di ukur pada kemerdekaan Indonesia, tetapi setiap tindakan warga negara harus bermuara pada nilai dan norma pancasila. Pancasila terbentuk atas dasar rasa kesamaan nasib, kesamaan kehendak dan kesamaan cita-cita oleh sebab itu agar ciat-cita nasional tercapai, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi pertama, pendidikan harus bisa diakses oleh seluruh warga Negara tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi; kedua, penyelenggaraan pendidikan harus demokratis dan partisipatif; ketiga, isian pendidikan harus mencerdaskan dan menanamkan nilai-nilai progressif, seperti nasionalisme, demokrasi, kemanusiaan, solidaritas, gotong-royong, dan lain-lain.
Indikator ketercapaian negara maju dalam pengeloaan ekonomi secara mandiri, politik yang berdaulat dan pribadi yang berbudaya ada pada terbangunnya jiwa bangsa sehingga hal pertama yang harus ditekankan adalah akses pendidikan seluas-luasnya baik yang dibuka oleh pemerintah ataupun organisasi sosial/politik guna memberikan pengajaran pada rakyat banyak.
Proses penanaman jiwa nasionalisme sejak dini merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, disatu sisi pendidikan membantu meningkatakan keterampilan dan disisi lain juga pendidikan memupuk jiwa nasionalisme sebagai fondasi dari pendidikan itu sendiri.
Adapun bentuk tindakan pemerintah dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa adalah gerakan pemberantasan buta huruf terjadi pada tahun 1948 sampai pada tahun 1964, penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf.
Pengajaran Nasionalisme Melalui Lembaga Pendidikan
Ide nasionalisme yang kemudian mengalami puncak sublimasi yaitu terjadi pada kongres sumpah pemuda tahun 1928 merupakan ikrar nasional pemuda pemudi Indinesia dengan menyatakan kesatuan bangsa, kesatuan tanah air, dan kesatuan bahasa. Hal tersebut merupakan jawaban atas keragaman dan kemajemukan yang membentuk nation Indonesia: beragam suku, agama, adat-istiadat, dan aliran politik.
Paham nasionalisme juga mengalami pasang surut terutama pada masa orde baru gagasan nasionalisme mulai menyempit yang hanya bermuara pada wilayah teritori dan kamanan nasional. Hal itu yang tidak barengi dengan internasiolisme (kemanusian) tidak lebih hanya nasionalisme chauvinisme atau juga disebut nasiolisme yang hanya mementingkan bangsanya sendiri tanpa memperhatikan dunia luar (negara-negara lain).
Cita-cita pancasila yang begitu besar ialah membangun dunia baru, tatanan masyarakat tanpa ada penindasan manusia atas manusia atau bangsa atas bangsa yang belum tercapai tentu menjadi soal bagi bangsa indonesia sebagai penggagas ide tersebut. Indonesia sebagai bangsa besar punya tanggung jawab yang sangat berat dalam mewujudkan hal diatas.
Sejarah telah mencata bahwa kelahiran nasionalisme memberikan dampak postif bagi kemerdekaan dan kesejahteraan, terbukti seperti negara-negara maju yang menanamkan nilai nasionalisme sebagai fondasi berbangsa dan bernegara.
Kemudian dalam mencapai hal itu dimulai dari penyelesaian persoalan-persoalan kebangsaan seperti kesenjangan sosial-ekonomi, pendidikan, kemiskinan dan lain-lain dengan kembali pada pemahanan pancasila yang diberikan melalui lembaga pendidikan.
Pendidikan sebagai wadah dalam menyalurkan gasasan tentu harus menjadi tindakan awal dalam menyelenggarakan pendidikan yang demokratis dan berdaulat, pada prosesnya bukan hanya tanggung jawab negara tetapi juga tanggung jawab seluruh warga indonesia dalam menyokong pendidikan yang layak dan berkualitas.
Pada konteks pengajaran nasionalisme di sekolah ada beberapa syarat yang harus terpenuhi pertama, kesadaran tenaga pendidik, lingkungan sekitar (masyarakat) dan orang tua dalam mengawasi dan membimbing setiap tindakan peserta didik dalam hal ini adalah tindakan yang mengarah pada hal positif; kedua, sebagai nilai yang hidup, nasionalisme harus muncul dalam setiap praktek sosial (diaplikasikan oleh seluruh warga Indonesia terutama orang tua dan guru) ; ketiga, paham kebangsaan yang diberikan tentu atas dasar paham kemanusiaan.
Oleh Oay Ashari
0 Comments