infomjlk.id - Nama Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto cukup banyak disebut dalam narasi perjuangan bangsa. Ia ketua Sarekat Islam paling kharismatik sepanjang sejarah. Langgam pidatonya sedikit banyak diadaptasi oleh sang proklamator, Ir. Soekarno. Hingga ada gosip bawah tanah yang menyebut sosoknya sebagai jelmaan Sang Hyang Wisnu, salah satu dari tiga dewa tertinggi dalam kepercayaan Hindu.
Meski begitu bukan berarti kiprahnya tidak memunculkan politik musuh-musuh. Beberapa pihak menyatakan pemikiran Tjokroaminoto hanya menguntungkan kalangan elit saja, mengingat seberapa jauhnya hukum darah yang berlaku di masyarakat pada saat itu. Ada pula sentimen bahwa gerakan politiknya “terlalu Jawa”. Pun orang-orang Komunis kerap berseberangan paham dengan tokoh ini, walau tak bisa dipungkiri beberapa kepalanya ada juga yang menimba ilmu pada Tjokro seperti Muso, Darsono dan Alimin untuk menyebut beberapa.
Salah satu usaha merintangi pengaruh Tjokroaminoto adalah dengan menjebloskannya ke penjara. Keluar masuk jeruji besi tak ubahnya buka tutup tirai jendela di warung nasi padang pada jam makan siang. Sering sekali. Begitu pula pada medio September 1921.
Kala itu Tjokroaminoto kembali ditangkap. Alasan preventif diklaim menjadi dasarnya. Beberapa surat kabar (Kaoem Moeda, Sinar Hindia dan Benih Mardeka) memuat berita tersebut. Rata-rata hartanya diserang disingkirkan sang angka.
Soerjopranoto, dalam koran Kaoem Moeda, mengapungkan penangkapan Tjokroaminoto adalah hasil dari intrik sayap kanan partai, dengan tujuan membunuh gerakan rakyat. Meski begitu redaktur Kaoem Moeda sendiri menilai jika ini ulah Alimin dan Sosro, kawan-kawan Tjokroaminoto di SI
Tentu kawan-kawan pergerakan Tjokroaminoto tak tinggal diam begitu saja. Mereka merapatkan barisan dan menunjukkan ketidaksenangan akan kejadian ini. Di Jogja, Bandung, Surabaya, Semarang, Tegal, Cirebon dan juga Majalengka. Ya, Serikat Islam Kota Angin juga terang-terangan membeberkan sikap mereka.
Pada Sinar Hindia edisi 168 tertulis bahwa SI Majalengka telah mengadakan pertemuan pada tanggal 11 September 1921. Tak tanggung-tanggung, tercatat hadir ± 4000 orang, termasuk wanita dan anak-anak. Mereka ikut bersimpati atas penangkapan Tjokroaminoto.
Salah satu tokoh SI Majalengka, Kadir menyarankan untuk menggalang dana lalu mengirim telegram yang meminta agar Tjokroaminoto tidak melakukan semena-mena. Rapat menyetujui saran ini. Kader lainnya, Sidik, memimpin doa untuk memerdekakan Tjokroaminoto. Kemudian, sebuah yayasan dibentuk secara khusus untuk memberikan dukungan kepada keluarganya. Setelah pertemuan itu, orang-orang pergi ke masjid, termasuk para wanita dan anak-anak, memohon berkah Allah untuk Tjokroaminoto.
Seperti sepasang kekasih yang menjalin cinta jarak jauh, pertemuan Majalengka dan Tjokroaminoto meski terintangi jarak dan agenda-agenda lain terwujud juga akhirnya. Adalah pada 6 November 1922, atau setahun lebih setelah ia ditangkap, ketua Sarekat Islam itu menyaambangi Kota Angin.
Surat kabar “Neratja” no.213 dan 214 mencatat ada 1500 orang menghadiri pertemuan yang secara langsung dipimpin oleh Tjokroaminoto itu. Ia kemudian menyampaikan terima kasih atas kepedulian rakyat, terutama Serikat Islam Majalengka, pada bencana -penahanan- yang menimpanya.
Tjokro menafsir jika penangkapan itu adalah usaha menjatuhkan pergerakan SI, bahkan bertendensi melenyapkan semangat perjuangan rakyat. Kira-kira seperti ini suaranya ketika itu "Selama gerakan Islam ini masih menunjukkan kesengsaraan dan kemiskinan bagi penduduk asli, cahaya SI tidak akan digelapkan". Dengan tegas dan yakin, ia kemudian melontarkan pertanyaan “Saudara-saudara percaya, ketika orang mengatakan: SI akan mati?". Seluruh audiensi menimpali nyaring “Tidak!”.
Membincang hubungan Tjokro dengan Majalengka akan semakin lengkap jika memasukkan nama Otong Syatori atau KH Abdul Halim.
Keduanya ternyata mempunyai hubungan yang cukup akrab. Miftahul Falah dalam “Riwayat Perjuangan KH Abdul Halim” mencatat Tjokroaminoto sebagai tokoh pendorong Abdul Halim dalam kaitannya dengan pengajuan legalitas Jam'iyat I'anat Al-Muta'allimin, yang kelak berganti nama menjadi Persjarikatan Oelama (PO) sekitar pertengahan tahun 1917, pada pemerintah Belanda. Sementara di SI, Abdul Halim mendirikan dan mengetuai cabang Majalengka pada pertengahan tahun 1912.
Artikel ini ditulis pada November 2019 untuk Komunitas Majasono
Raka
0 Comments