infomjlk.id -
“Kita itu musti sekolah yang bener. Biar jadi orang.”
“Ha, ada kok itu yang ga sekolah tapi jadi orang. Itu, Abdul Halim.”
“Haish..”
“Teu percaya? Kieu dongengna...”
I
Namanya Otong Syatori. Suatu sumber bilang awalnya Mohammad Sjatari. Harap maklum, rupanya sejak dulu orang sudah kreatif dalam urusan mendekonstruksi nama atau mungkin paham dengan konsep nama kecil sebagai pemecah jarak. Kecurigaan paling dekat, dan malas, menyasar pada statusnya sebagai anak paling bungsu dari delapan bersaudara berimbas pada “si totong - totong - otong”. Populerlah ia sebagai Otong Syatori.
Mirip latar belakang Abu Nawas, bapaknya adalah seorang penghulu. Beda dengan latar belakang Abu Nawas, bapaknya bekerja untuk Kawedanaan Jatiwangi alih-alih di jazirah Arab sana. Adagium “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” bisa digunakan di sini. Sebagai seorang penghulu, ayah Otong atau K.H. Muhammad Iskandar sudah barang tentu menguasai bidang keagamaan utamanya fiqh. Dikuatkan dengan keberadaan ibunda, Hj. Siti Mutmaina -anak K. H. Imam Safari yang masih keturunan Sunan Gunung Jati-, menjadi wajar ketika tokoh kita diperkenalkan pada ilmu agama bahkan sebelum mencapai usia sekolah.
Pada usia 10 tahun, Otong sudah mampu membaca Al-Qur’an. Diselingi kegandrungan akan wayang kulit dan kesibukan sebagai anggota skuad obrog-obrog selama bulan ramadan, ia mereguk pelajaran mengaji setuntasnya menunaikan salat lima waktu. Pendidikan ini secara intensif dijalaninya di Cideres, Dawuan, dekat tempat tinggalnya setelah keluarga memutuskan pindah ke desa itu.
Di samping kegiatan belajar kitab suci, ada Mr. van Hoeven yang membimbingnya membaca dan menulis aksara latin. Jadi menarik karena sebenarnya van Hoeven adalah pendeta Protestan yang ditugaskan menyebarkan paham tersebut guna mengukuhkan supremasi kolonial atas pribumi. Tugas macam ini diberi istilah zending untuk Protestan dan misi untuk Katolik.
Berbeda keyakinan tak lantas membuat Otong dan van Hoeven urung jadi guru dan murid. Bahkan van Hoeven disinyalir terkagum-kagum dengan ketekunan dan potensi anak didiknya. Hal itu nampak akan perlakuan istimewa yang diberikan pada Abdul Halim muda.
Berbekal kemampuan baca-tulis latin, ada pintu lain terbuka bagi tokoh kita. Ya, sekolah formal. Telah berdiri sekolah-sekolah formal di Majalengka atau Cirebon, toh, itu tak ia tapaki. Dengan mantap dan dialiri restu orangtua, Otong memilih pesantren sebagai jenjang pendidikannya.
II
Tahu tokoh Ahmad dalam Kisah si Ahmad? Itu, lho, dongeng yang dituturkan Kiai Balap ihwal perjalanan Ahmad, anak pengadu ayam yang kemudian jadi kiai ampuh. Nah, Otong ini juga pindah-pindah nyantrinya persis Ahmad. Dari pesantren satu ke pesantren lain sesuai petunjuk kiai-kiai yang ditemui dan belajar daripadanya.
Pertama, jejak kakinya mampir ke pesantren di Ranji Wetan, Jatiwangi. Kala itu tahun 1897. Di sana ia bertemu K.H. Anwar dan menetap selama satu tahun. Pada 1898, Otong beranjak ke pesantren Lontangjaya untuk memperdalam ilmu qira’at dan tajwid. Di pesantren yang terletak di Panjalin, Leuwimunding, ia diasuh K.H Abdullah.
Berselang satu setengah tahun dari kedatangannya ke Lontangjaya, kira-kira 1899, K.H Abdullah menunjukkan guru selanjutnya bagi Otong. Ialah K.H. Sjuja’i, yang berteduh di bawah atap Pesantren Bobos, Sumber, Cirebon. Mondok di sini membuatnya kenal lebih dalam soal Kesusasteraan Arab.
Otong tak berhenti di sana. Ia pindah ke Cilimus, Kuningan, beberapa bulan kemudian guna belajar fiqh. Ciwedus pesantrennya, K.H Ahmad Sobari pengasuhnya. Ketika nyantri di sini, ia pun tercatat menyempatkan diri berguru pada K.H. Agus dari pesantren Kanayangan, Kedungwuni, Pekalongan. Atas bisikan K.H. Agus pula, Otong kembali ke Ciwedus dan merampungkan pendidikan keagamaannya di sana.
Berpindah kesana kemari tidak lantas membuat dapat disimpulkan bahwa Abdul Halim muda hidup terjamin dan cuma fokus membuka kitab saja. Di samping itu, ia ternyata seorang wirausahawan ulung. Pandai membaca kebutuhan sekitar serta berjiwa mandiri. Ketika nyantri di luar Majalengka, ia membawa beragam produk macam kecap, sarung, kain, minyak wangi dan kitab-kitab pelajaran yang kemudian dijual pada warga pesantren lain. Hasilnya dialirkannya untuk menutup biaya sehari-hari di pondok dan beberapa dikirim ke kampung halaman, ke keluarganya.
III
“Terus? Lha, bagian jadi dewan nya mana?”
“Sabar atuh. Baru juga bagian pertama. Nanti dilanjut. Kalau mood.”
“Begitu, itu, kapan jadi orangnya.”
“Udah, kita ngopi dulu biar kayak orang pada umumnya, ya.”
“Buat ini aku sepakat.”
Bersambung…
Raka
0 Comments