infomjlk.id - Senyap (The look of silence) karya Joshua Oppenheimer adalah pelengkap film dokumenter Jagal yang fokus utamanya pada kejadian genosida ditahun 1965. Adi Rukun adalah pemeran utama yang sekaligus adik dari salah satu keluarganya yang menjadi korban kekejaman pembantaian. Film ini menjadi jalan untuk mengguncangkan kesenyapan yang selama ini disembunyikan oleh masyarakat, sang korban maupun pemerintah.
“Menutup diri hanya pada pemaknaan komunitas saja. Tiadanya kemungkinan untuk berbeda merupakan bahaya bagi politik karena tidak ada lagi cermin, tidak ada lagi kehadiran liyan yang menuntut tanggung jawab”(G.Hottois, 2003 : 405).
Sebenarnya isu mengenai peristiwa sejarah pada tahun 1965-1966 itu telah menjadi kontroversi bagi masyarakat Indonesia. Setelah lebih dari 10 tahun masa orde baru berakhir, film senyap hadir ke ranah publik dengan membawa perspektif yang berbeda dengan pemikiran yang sudah tertanam di mayoritas masyarakat Indonesia selama ini. Senyap mengambil cerita dari sudut pandang keluarga sang korban yang selama ini jarang diketahui oleh masyarakat.
“Maka rasionalitas insturemental tidak membutuhkan legitimitas manusiawi kecuali ketika harus mendapatkan persetujuan dan orientasi simbolik untuk memotivasi tindakan atau mencegah suatu kelompok sosial tertentu” (Habermas vol.1, 1987:284).
Adi Rukun bekerja sebagai optometrist alias tukang kacamata yang lahir pada tahun 1968. Ia berkeliling ke setiap rumah dengan maksud ganda, salah satunya mencari kebenaran sekaligus kejelasan dari orang terkait atas pembunuhan sang kaka, Ramli. Ada makna simbolis antara kacamata dan pencerahan cerita, seperti kutipan dialog ini :
(35:54) Adi : Kalau ini tambah terang pak ? terang ? tambah terang kan ? (sambil memberikan lensa kacamata)
(35:55) Salah satu orang terkait : Iya tambah terang
Seolah-olah adanya ungkapan simbolis bahwa cerita ini dibuka, menjadi terang dan disuguhkan pada masyarakat. Tak hanya itu, unsur simbolis pun terjadi pada adegan ketika sang ibu Adi melihat kacang yang bergerak ditelapak tangannya:
(1:36:18) “aku mau lihat ulatnya, keluarlah”. Hal ini merupakan metafora tentang harapan, tentang sesuatu yang akan muncul, tidak diam sebagaimana riak air yang memadamkan.
Berikut kutipan lanjutan dari salah satu dialog yang berusaha diungkap oleh Adi :
(40:55) Adi : Cuman gini pak ada yang mengganjal diperansaanku, sebetulnya aku datang kemari bukan bermaksud negatif, hanya sebatas pengungkapan sejarah, karena sebetulnya sejarah sekarang ini dibelokan, artinya orang-orang yang bapak bunuh, yang dianggap tidak punya agama, itu nonsense pak, itu hanya propaganda, supaya orang kaya bapa, beragama, mau membunuh dengan alasan tidak percaya Tuhan, tidak mempunyai agama. Bapak bilang ; istrimu-istriku, itu gak betul, itu propaganda.
(41:33) Salah satu orang terkait : Tapi ini saudara larinya ke situ, ini ga cocok ini, udah berhenti aja, larinya ke politik...
Kutipan dialog antara Adi dan Ketua Komando Aksi di Singular :
(1:03:32) Ketua komando aksi : Sekarang saya juga berhak untuk bertanya, apakah semua keluarga eks PKI ini ingin terjadi lagi kejadian sebagaimana dulu ?
(1:03:33) Adi : Oh tidak pak, tidak...
(1:03:34) Ketua komando aksi : Tidak ? Robah !!!
Dari hal ini adanya pengungkapan sejarah dari kacamata seorang Adi yang meluruskan pandangan dari seorang bapak yang terkait pembunuhan 65. Dalam dialog ini mengandung makna pencegahan kelompok sosial tertentu untuk menyampaikan pendapat yang tidak harus diungkapkan ke muka namun pada hakikatnya seharusnya ada persetujuan dari kedua belah pihak. Seperti halnya menurut Habermas vol. 1, 1987 : 117, legitimitas politik harus berakar pada persetujuan yang dilandaskan pada komunikasi, bukan pada legitimitas semu yang mengacu pada tatanan atau kebenaran yang tidak bisa didiskusikan lagi.
Sejarah adalah waktu lampau yang pengungkapannya perlu proses dan perlu data yang akurat. Tidak simpang siur hanya berdasarkan omongan publik atau seorang saja. Adanya sensitivitas di setiap arah pandang politik. Sehingga untuk mengungkap kembali, perlu adanya pemanis yang menutupi, supaya tidak terulang lagi. Namun pemanis akan terasa pahit bagi orang-orang yang tahu, yang berusaha mengungkap ke muka. Hingga pada saat itu mereka dicap, ditandai.
Pada scene terakhir dimunculkan kembali aspek simbolis ketika sang ibu Adi memainkan kacang yang berisi ulat. Menaruh unsur simbolis, menyuguhkan pada sang penerima untuk berpikir dan bertanya tentang kebenaran yang sebenarnya. Simbol ini, pengungkapan bahwa pada masa itu yang bergerak dan menantang arah politik akan dibungkam dan diberhentikan. Maka sikap ter aman saat itu ialah diam, senyap, tidak muncul kepermukaan dan tidak mencirikan sesuatu. Karena dalam film ini bisa mengacu pada “isi pesan atau makna dari tanda sangat luwes. Media tidak mengacu ke suatu dunia, ia hanya memberi tanda untuk dikonsumsi dengan diberi jaminan riil” (Jean Baudillard, 1970:32).
(1:35:50) Ibu Adi : Oh dia lari...Satu datang kesini jatuh lagi. Yang ini tak mau bergerak...Tidurlah agar tak lelah.
Radc
0 Comments