infomjlk.id - Rendahnya tingkat kesejahteraan guru honorer di Majalengka rasanya sudah menjadi rahasia umum. Meski sama-sama berseragam dinas, tapi apalah daya tidak ada jaminan yang pasti kalau kebutuhan sehari-hari mereka akan tercukupi.
Baraya sekalian sedikit-banyaknya mungkin pernah mendengar bagaimana suka-dukanya menjadi guru honorer baik dari teman dekat, kerabat, atau pun cerita dari mulut ke mulut. Bagi saya, semua kabar itu memang benar adanya. Sejauh pengalaman saya mengajar, menjadi guru honorer selama hampir 9 bulan di 2 sekolah yang berbeda, rasanya sangat luar biasa. Suka-dukanya jelas jika mengukur dari segi materil, gaji yang tak sebanding dengan apa yang dikerjakan, sangat jauh dari kata layak. Tapi di sisi lain, ada hal-hal yang sulit diungkapkan terkait ketenangan batin yang kami rasakan ketika mampu menjalaninya dengan ikhlas. Rasa senang hadir memenuhi beragam momen kebersamaan bersama para murid ketika mengajar dan berkegiatan, juga kebersamaan bersama guru-guru yang lain di waktu senggang. Perasaan nyaman dalam lingkup kekeluargaan menjadi satu-satunya penguat bagi kami untuk terus bertahan dan mengemban tanggung jawab sebagai seorang guru.
Jujur, untuk saya pribadi menjadi seorang guru honorer itu cukup berat. Mengingat kondisi ekonomi keluarga yang sejak awal memang kurang mendukung, mengharuskan saya mencari penghasilan tambahan untuk bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Itupun tak segampang yang dipikirkan, selain harus pintar membagi waktu, saya pun harus pintar mengolah tenaga dan pikiran saya untuk fokus pada keduanya. Selain itu, hal lain yang cukup memberatkan saya adalah jarak, karena bagaimanapun jarak dari rumah ke sekolah tempat saya mengajar itu cukup jauh; kurang lebih menghabiskan waktu sekitar 20-30 menitan. Setiap hari pulang-pergi, ongkos dan tenaga menjadi hal ekstra yang harus saya penuhi. Sedangkan penghasilan saya dari mengajar per bulannya hanya cukup untuk menutupi biaya transportasi, itu pun tidak pasti.
Sebenarnya, jika harus membandingkan bagaimana rasanya menjadi guru honorer di Majalengka dengan guru honorer di luar Majalengka, menurut saya pribadi dan pendapat teman-teman yang lain rasanya sama saja. Tidak ada jaminan yang pasti untuk kesejahteraan guru honorer selama mengabdi dimanapun mereka berada, selain diri mereka sendiri. Keharusan untuk bisa motekar dalam menambah penghasilan menjadi jalan paling memungkinkan yang bisa ditempuh.
Contohnya, dulu saya pernah mendapat tawaran untuk mengajar di salah satu SMP di Cikarang, dengan jaminan ada kemungkinan bisa mendapat program Jasa Tenaga Kerja (Jastek) dari pemerintah Kabupaten Bekasi, saya tidak langsung menerimanya begitu saja. Padahal, jika melihat nominal yang dijanjikan dari program Jastek itu cukup besar, meski masih di bawah UMK Kabupaten Bekasi. Tapi, yang jadi pertimbangan awal saya adalah perbedaan biaya hidup yang cukup signifikan antara tinggal di Majalengka dengan tinggal di Bekasi. Gaji yang dijanjikan program tersebut terbilang sangat cukup bahkan lebih untuk biaya hidup tinggal di Majalengka, tapi belum tentu cukup untuk biaya hidup tinggal di Bekasi. Meskipun sebenarnya, perihal besar/kecilnya biaya hidup yang dikeluarkan itu tergantung bagaimana masing-masing pribadi mengaturnya. Selain itu, faktanya program Jastek sepertinya masih banyak mengalami kendala. Banyak pemberitaan yang kurang baik terkait program tersebut, terutama dalam hal pencairan dana yang seringkali telat.
Untuk saat ini, baik di Majalengka atau dimanapun kondisi guru honorer layaknya para pelaut yang dibiarkan terombang ambing di tengah lautan dengan makanan seadanya, dengan kapal tua yang dimilikinya mereka menerjang badai, bertahan di tengah teriknya siang dan dinginnya malam. Mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit antara bertahan entah sampai berapa lama hingga kapal induk mengangkut mereka, bergerak mencari pulau terdekat untuk mereka berlabuh, atau memutar haluan dan kembali ke tempat mereka berasal. Analogi yang tidak terlalu lebay menurut saya untuk menggambarkan apa yang saya dan teman-teman sesama guru honorer rasakan saat ini.
Nyatanya, harapan terbesar kami para guru honorer hanyalah bisa mengajar dengan tenang dan fokus tanpa terganggu oleh rasa lapar. Wacana pemerintah untuk segera menghapuskan tenaga honorer bukanlah kabar baik bagi kami. Lagi-lagi tak ada jaminan pasti kalau semua guru honorer akan secepatnya diangkat menjadi PPPK, sebagai solusi dari penghapusan tenaga honorer tersebut. Apalagi sebagian besar guru honorer saat ini bukan termasuk prioritas. Memang ada kesempatan lewat jalur pelamar umum, tapi prosesnya tak akan mudah, entah berapa persen kemungkinannya para pelamar umum bisa lolos seleksi. Hal tersebut juga berlaku untuk guru honorer atau calon guru yang mengejar alternatif lain dengan cara mengikuti seleksi PPG Prajabatan, mereka sama-sama harus berjuang keras agar bisa lolos seleksi. Bagi kami yang bukan prioritas, berjudi dengan nasib sendiri rasanya sudah menjadi makanan sehari-hari.
Itulah sedikit gambaran dari saya terkait bagaimana rasanya menjadi guru honorer di Majalengka. Meski tidak terlalu detail dan terlampau objektif, mudah-mudahan baraya semua bisa mengerti dan membayangkannya sendiri.
Salamm ....
Ikhsan Noer Fauzi
0 Comments