infomjlk.id - Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang remaja yang pekerjaan sehari-harinya menuntun kuda sang majikan Walanda. Barang tentu ia pun menjaga, membersihkan dan memberi makan kuda sang majikan tersebut. Tiap kali majikan dan kuda yang ditumpanginya itu melewati sungai, ia sang remaja itu siap siaga di pinggir pelana sambil menuntun kuda supaya berjalan sesuai dan majikan tetap aman. Sang remaja pun menyadari bahwa ia adalah bawahan dan sang majikan Walanda tersebut adalah atasan. Ia takut, segan apabila sang walanda marah dan patuh pada apa yang diperintahnya. Itulah cerita remaja si penuntun kuda yang hingga saat ini 77 sudah merdeka rasanya mental inlander masih melekat. Lalu apa itu mental inlander?
Mengutip Mustakim dalam tulisan berjudul Inlander (2019) di Majalah Tempo. Mentalitas Inlander ialah kalimat yang tepat dalam mendeskripsikan kondisi orang Indonesia yang terlalu mendewakan bangsa Belanda, sehingga mereka ingin mencoba mensejajarkan diri dengan hidup ala Eropa. Setali dengan itu hal ini menekankan pada apapun yang dimiliki bangsa lain dianggap lebih hebat, lebih keren dan lebih bergengsi daripada milik kita sendiri sehingga kita pun menghargai dengan harga yang lebih tinggi atau bersikap berlebihan pada orang asing. Dalam kajian postkolonialisme bahwa hal demikian adalah dampak dari masyarakat terjajah yang mengalami inferiority complex atau penanaman rasa rendah diri.
Di kehidupan modern saat ini, dimana bisnis sangat terbuka bagi orang asing untuk bekerja di dalam negeri begitupun kita sebaliknya begitu dapat bekerja di luar negeri. Sehingga sudah lumrah sekali melihat lalu-lalang dan bekerja bersama orang asing baik itu di sektor industri, entertainment dan hal lainnya. Bagi baraya yang memilih mata pencahariannya sebagai karyawan di industri pabrik sudah pasti mengenal berbagai budaya kerja yang dibawa oleh pihak luar pasalnya pabrik di Majalengka lebih banyak berada di bawah orang Cina atau Korea. Sehingga para pekerja atau jobseeker sering membedakan pabrik cina atau pabrik korea.
Lalu apa hubungannya dengan mental inlander?
Sebagai karyawan pabrik barang tentu menyadari akan adanya struktur status jabatan dari berbagai level. Namun penulis disini bukannlah membeda-bedakan apapun itu statusnya, hanya saja penulis menekankan bahwa selama kita bekerja pada perusahaan asing pasti atasannya adalah orang asing baik itu dari negara X, Y atau lainnya. Memang betul bahwa kita sebagai pekerja dituntut untuk menaati setiap aturan dan kewenangan yang berlaku pada perusahaan namun kita juga jangan bermental inlander atau mental postkolonial pasalnya kita punya harga diri sebagai bangsa Indonesia. Kita juga perlu mewaspadai adanya tindak kesewenang-wenangan yang melanggar aturan norma budaya Indonesia. Hal ini dapat baraya liat dari berbagai aturan yang semestinya dapat dijalankan oleh perusahaan guna menghindari adanya berbagai praktik penyelewengan sosial.
Kita tidak boleh takut dan terima begitu saja apabila adanya abuse of power seperti diantaranya adalah pelecehan seksual, kekerasan fisik, penghinaan, nada bicara yang tinggi atau penggunaan bahasa yang kasar. Hal demikian wajib kita tindak lanjuti seperti bicara pada HRD, atau dokumentasikan untuk memperkuat bukti. Dari sana jelaskan secara detail apa yang atasanmu lakukan dan minta rekan kerjamu untuk menjadi saksi atas perlakuakn abuse of power tersebut.
Jangan bermental inlander dan menganggap bahwa atasan yang tinggi, kulit putih berbahasa asing dapat mendikte kepribadian kita. Maksud penulis adalah kita juga punya nilai untuk bisa menjadi atasan. Kita dapat menggunakan Bahasa Indonesia yang kita miliki selama bekerja di tanah Indonesia sendiri. Kita juga mempunyai skill yang dapat digunakan dan diandalkan untuk bekerja terlebih menjadi yang kuasa.
Radc
0 Comments