infomjlk.id - Itu tahun 2012, tahun dimana kami bertemu pertama kali. Seperti tidak istimewa sebab mungkin ada ratusan temu perdana lain di SMA 2 Majalengka saat itu. Ya, kami sama-sama murid baru yang kebetulan satu angkatan. Pada tahun itu Windows 8 resmi dipasarkan ke publik; Regina juara Indonesian Idol 7; Blackberry masih begitu bergengsi; Monkey Boots dan Souljah sering diputar lewat speaker kelas. Dan kami bertemu untuk pertama kali.
Dalam kisah kami, petir tidak menyambar pada pandangan pertama. Semula dinamika hubungan kami macam Tom dan Jerry, alih-alih Miki-Mini Mouse. Kami lebih dulu berbalas ledekan sebelum berbalas pesan dan perasaan. Balas-berbalas kedua baru hadir ketika kuliah, bertahun-tahun kemudian, tepatnya pada semester dua. Kami sudah berlainan kota. Saya dalam naungan sekolah keperawatan di Bandung, dia akademi pelayaran di Cirebon. Kami Raisa saat itu. Iya, LDR.
Saling percaya dipilin lewat benang-benang pesan pendek, panggilan selular hingga Skype. Pertemuan, yang kadang setahun sekali pun tidak, menjadi perayaan. Kami harus benar-benar berhitung; soal jarak, waktu, sinyal jaringan dan impian pernikahan yang sama kami berdua damba. Ruang tawar-menawar urusan perasaan jadi makin tipis karena agendanya berlayar serta hiruk pikuk harian saya lainnya.
Namun, agaknya saya dan pasangan betul-betul mengupayakan yang terbaik pada hubungan jarak jauh ini hingga tak terberai selama tujuh tahun terakhir. Sekarang saya bisa bilang kalau dia adalah orang yang sangat bertanggung jawab, bisa memegang komitmen. Lain itu, ia telah dan masih berperan sebagai sistem pendukung utama dari langkah-langkah saya, selain tentunya keluarga.
Jika memandang lagi jejak pengalaman yang berlalu, saya sangsi bisa mencapai titik ini tanpa dukungannya. Mungkin pula saya tak akan bisa semandiri ini. Kalau harus mengira-ngira alasan, kiranya itu yang membuat mantap jika dia, dan harus dia, yang menjadi teman hidup saya.
Hal menarik selanjutnya adalah bab persiapan menikah. Hanya empat bulan, waktu dimana kami memperisapkan semuanya. Jendela waktu sesingkat itu membuat turbulensi-turbulensi tak terhindarkan dalam prosesnya.
Sepanjang empat bulan itu, saya mesti pulang pergi Bogor-Majalengka setiap minggu demi merekatkan keping-keping puzzle yang lama kami damba. Semesta yang baik ini tak dipungkiri turut menyodorkan kemungkinan-kemungkinan yang baik pula buat wujudkan impian pernikahan kami.
Sedari bertemu Panata Wedding Project, yang mengoordinasikan bagaimana Hari Hajat berlangsung, hingga bersepakat dengan Lilis Talitha untuk ranting rias pengantin dan dekorasi pernikahannya. Semua lantas begerak ke haluan yang satu: pernikahan itu tadi; buah dari tujuh tahun hubungan jarak jauh itu tadi.
Terutama atas bantuan jasa Mami Lilis. Yang bermula dari melihat vendor-vendor make-up dan dekorasi di instagram, dari bermacam MUA dan Dekorasi senada, saya merasa jatuh cinta dengan make-upnya Mami Lilis yang terkesan lembut dan flawless. Keinginan saya memakai busana elegan berwarna merah marun serta siger emas yang sama, seperti apa yang ibu saya kenakan di tahun 1996 pun terpenuhi.
Lalu dekorasinya pun sangat menawan dengan warna-warna segar membalut pengaturan tata letak yang kekinian. Membuat saya berpikir kalau siapapun pasti merasa tertarik untuk menggunakan jasa Lilis Thalita untuk make-up dan dekorasinya.
Ini tahun 2023, tahun dimana salah satu impian kami mewujud: pernikahan! Sebuah pintu gerbang menuju pelayaran-pelayaran lainnya tentu saja; anak-anak yang saleh, hunian meneduhkan, Tanah Suci Mekkah jika menyebut beberapa di antaranya. Doakan kisah kami harum abadi ya, baraya.
0 Comments