InfoMJLK.id -- KPI yang ingin masuk ke ranah digital meliputi seluruh platform media sosial melalui kategori baru dalam Revisi UU Penyiaran, nyatanya bermasalah! Banyak poin yang bersifat diskriminatif dan cenderung mengancam kebebasan pers. Terdapat 3 poin masalah dalam revisi UU Penyiaran, antara lain:
1. Perluasan Kewenangan KPI ke Ranah Digital
Revisi UU Penyiaran meluaskan cakupan wilayah penyiaran, tak hanya penyiaran konvensional melainkan juga mencakup penyiaran digital. Konsekuensinya kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jadi meluas.
Dalam revisi UU ini, KPI tidak hanya mengurusi penyiaran dalam konten konvensional yang ada di layar kaca atau layar lebar saja. Namun KPI juga memperluas wewenangnya dalam ranah digital. Seperti diatur dalam Pasal 1 Nomor 4, 9, dan 17. Dalam pasal tersebut, KPI juga akan mengawasi dan mengatur konten-konten tayangan yang akan dipublikasikan kepada masyarakat.
Platform digital yang dimaksud oleh KPI adalah konten-konten digital yang tersebar di platform internet. Seperti bunyi Pasal 1 nomor 15.
Platform Digital Penyiaran adalah sarana informasi telekomunikasi yang memfasilitasi interaksi secara langsung pemberi dan penerima informasi, atau penyedia dan pengguna layanan penyiaran untuk saling bertukar atau memperoleh informasi.
Sementara penyelenggara platform digital penyiaran adalah pelaku usaha yang terdiri atas perseorangan atau lembaga yang menyelenggarakan konten Siaran melalui Platform Digital Penyiaran. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 nomor 16.
Artinya platform YouTube, Instagram, TikTok dan platform digital penyiaran lainnya akan diatur mengikuti draf RUU Penyiaran tersebut. Termasuk juga platform radio dan podcast sebagaimana tertera dalam Pasal 94. Pasal tersebut menjelaskan platform digital penyiaran meliputi layanan siaran suara atau layanan siaran suara-gambar.
Jadi, tidak hanya penyedia konten platform besar saja yang diatur. Tetapi termasuk juga content creator. Kalau konten-konten digital yang ada di internet melanggar peraturan yang telah ditetapkan, akan ada konsekuensi yang sama seperti yang didapat para penyelenggara konten konvensional. Perubahan ini mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital.
Memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran membuat konten digital harus patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan TV konvensional, padahal medium dan teknologinya berbeda. Ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terrestrial.
2. Larangan yang Berlebihan Atas Konten Digital
Hal yang jadi perhatian serius dari Revisi UU Penyiaran adalah banyaknya larangan-larangan yang berlebihan atas konten digital. Dalam situsnya KPI mengatakan penyusunan Revisi UU Penyiaran dilakukan semata-mata untuk kepentingan publik.
Akan tetapi, pernyataan tersebut tidak sesuai dengan klausul yang ada di Revisi UU bahkan isinya banyak mengandung kalimat multitafsir seperti larangan tayangan LGBT. Akibatnya sebuah kalimat bisa saja mengecoh dan subjektif, atau bahkan rancu dalam pemaknaannya.
Pasal 56 ayat 2 memuat sejumlah poin-poin larangan yang berlebihan, subjektif, dan multitafsir. Larangan-larangan ini mencakup tayangan terkait narkoba, perjudian, rokok, alkohol, kekerasan, atau unsur mistik. Beberapa larangan tersebut dinilai multiinterpretasi sehingga rentan untuk digunakan secara semena-mena.
Selain itu siaran digital punya konsekuensi yang sama dengan siaran konvensional kalau melanggar pasal-pasal Revisi UU Penyiaran. Soal sanksi ini diatur dalam pasal 60 dan pasal 116 mulai dari teguran tertulis hingga mencabut tayangan konten.
3. Mengancam Kebebasan Pers
Konsekuensi lain dari perluasan dalam revisi UU Penyiaran adalah kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan KPI. Hal ini dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan. Pasalnya selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers sebagaimana mandat UU Pers.
Pada pasal 25 ayat 1q disebutkan wewenang menangani sengketa jurnalistik hanya oleh KPI. Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draf RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik.
Selain itu, pada pasal 56 ayat 2 juga terkandung larangan atas penayangan eksklusif jurnalistik investigasi (huruf c). Klausul ini dinilai dapat mengancam kebebasan pers.
Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers yang sangat nyata.
Pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers harus dihapus dari draf RUU ini. Jika hendak mengatur karya jurnalistik di penyiaran, sebaiknya merujuk pada UU Pers No 40/1999. Konsideran draf Revisi UU ini sama sekali tidak mencantumkan UU Pers.
0 Comments