infomjlk.id — Keberadaan Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin di Jl. KH Abdul Halim, Majalengka, menyimpan sejarah yang tak ternilai.
Diyakini bahwa, tempat ini merupakan tempat ibadah Tionghoa tertua di Kabupaten Majalengka, yang berusia sekitar 200 tahun berdasarkan tulisan pada atap genteng yang menunjukkan tahun pembangunannya, yaitu tahun 1803.
Dilansir dari pustakawarta.com, awalnya bangunan kelenteng ini merupakan rumah pribadi Tan Sam Cai, seorang saudagar kaya keturunan Tionghoa asal Cirebon. Dalam perjalanan hidupnya, Tan Sam Cai juga sempat menjabat sebagai Menteri Keuangan di Kesultanan Cirebon dengan gelar Tumenggung Aryawicula.
Berdasarkan keterangan dari buku Sejarah Cirebon karya PS Solendraningrat, Tan Sam Cai meninggal dunia pada tahun 1817. Setelah itu, rumah pribadinya dihibahkan untuk menjadi tempat peribadatan umat Tionghoa.
Dikenal sebagai Kelenteng Tridharma "Simbol Keberagaman Ibadah"
Selama lebih dari dua abad, Hok Tek Tjeng Sin telah menjadi saksi sejarah panjang masyarakat Tionghoa di Majalengka. Tidak hanya menjadi tempat ibadah umat Tionghoa, kelenteng ini juga melayani penganut Taoisme dan Buddha, sehingga dikenal sebagai kelenteng Tridharma.
Bangunan kelenteng ini telah mengalami beberapa kali revitalisasi, yakni pada 1860-an, awal 1900-an, dan terakhir pada 1923. Meski demikian, keaslian bentuk bangunan tetap dijaga, kecuali bagian pagar yang telah disesuaikan dengan kondisi jalan.
Jejak Migrasi Tionghoa di Majalengka
Keberadaan Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang migrasi masyarakat Tionghoa ke Majalengka. Gelombang pertama migrasi tercatat terjadi sekitar tahun 1750, diikuti gelombang kedua pada 1800-an, dan terakhir pada awal 1900-an. Mayoritas pendatang berasal dari daerah Cirebon, seperti Jamblang, serta langsung dari negeri Tiongkok.
Namun, seiring berjalannya waktu, populasi komunitas Tionghoa di Majalengka semakin menurun. Salah satu penyebabnya adalah banyak keturunan Tionghoa yang berpindah tempat, seperti menikah dengan orang luar daerah, misalnya dari Jakarta, dan kemudian tidak kembali lagi ke Majalengka.
Perubahan besar mulai terlihat pada era Orde Baru, sekitar tahun 1960-an, ketika banyak penganut Konghucu dan masyarakat Tionghoa memutuskan berpindah agama, baik ke Islam maupun agama lain, sebagai bagian dari akulturasi dan asimilasi dengan masyarakat pribumi.
Proses akulturasi ini membuat komunitas Tionghoa di Majalengka terus berkurang, meninggalkan jejak sejarah yang kini hanya bisa dirasakan melalui tempat-tempat bersejarah seperti Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin.
Saat ini, aktivitas keagamaan di kelenteng mulai berkurang, namun tempat ini masih ada dikunjungi oleh umat dari luar daerah, seperti Kalimantan, Jambi, Bekasi, dan Tangerang.
Keunikan dan kepercayaan yang melekat pada Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin menjadikannya istimewa di mata para pengunjung. Banyak umat yang mempercayai kelenteng ini membawa keberkahan dalam kehidupan mereka.
Saat ini, keberadaan kelenteng di Majalengka hanya tersisa tiga kelenteng aktif, yaitu di Kota Majalengka, Kadipaten, dan Jatiwangi. Keberadaan ini menjadi sisa-sisa sejarah yang berharga di tengah berkurangnya komunitas Tionghoa.
Kelenteng Hok Tek Tjeng Sin kini berdiri tak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pengingat sejarah panjang dan harmoni keberagaman yang telah menjadi bagian dari kehidupan Majalengka Kota Angin selama lebih dari dua abad.
0 Comments