Terbentuknya Citra (Image) Antar Koalisi Nomor Urut 2 dan 3 pada Pemilu Presiden 2024, sebagai Simulacra Politik dalam Media Sosial

Source: Ilustrasi / Pinterest

infomjlk.id — Pembentukan citra (image) baik secara individu maupun golongan dalam politik erat kaitannya dengan pencitraan politik (political imaging), yang telah berkembang di Indonesia sejalan dengan perkembangan demokrasi. Citra (image), strategi, dan pembentukan citra (pencitraan) bertujuan untuk memperoleh dukungan opini publik. Peranan opini publik sangat strategis dalam kehidupan politik di negara demokrasi. Karenanya, opini publik menjadi kekuatan politik yang paling penting. 


Pencitraan politik berkaitan dengan pembuatan informasi atau pesan politik oleh komunikator politik (politikus/kandidat dan golongannya), media atau alat politik (media massa/media sosial), dan penerima atau khalayak politik (publik). Citra politik yang terbentuk di benak publik tidak selamanya sesuai dengan realitas yang sebenarnya, meski di kondisi tertentu sulit dibedakan, karena mungkin saja hanya sama dengan realitas media atau realitas buatan media, yang disebut juga sebagai hiperrealitas. 


Hiperrealitas dapat diartikan sebagai efek, suatu keadaan yang dihasilkan dari proses simulasi, yang mana hal tersebut merujuk pada perilaku individu ataupun golongan yang cenderung melakukan simulasi atau manipulasi terhadap realitas yang ada. Efek hiperrealitas dalam membangun citra politik menandai terbentuknya suatu proses 'Simulacra', ketika suatu individu atau golongan memiliki kemampuan untuk memanifulasi fakta dengan membuat semacam rekayasa yang tidak selalu merepresentasikan realitas sesungguhnya. Dengan bantuan kecanggihan teknologi, media informasi dikontruksi dan diframing seakan-akan nyata adanya, meski sebenarnya realitas yang dipertunjukkan terkadang hanyalah semu. 


Dalam kontestasi politik, baik Pemilu maupun Pilkada, Simulacra seringkali terbentuk karena adanya kebutuhan mendulang suara publik sebanyak mungkin. Pembentukan citra (image) yang efektif menarik massa sangatlah diperlukan. Apalagi, di era sekarang ini ketika kecanggihan teknologi dan percepatan informasi di media sosial menjadi alat utama para komunikator politik dalam berkampanye. 


Pada Pemilu 2024, kompleksitas politik terjadi. Melalui media sosial, drama besar dipertontonkan oleh tiap-tiap individu yang berkepentingan dalam kontestasi tersebut, baik kandidat politik (presiden dan wakil presiden), individu atau orang-orang berpengaruh pengusung kandidat (ketua partai, tokoh politik, dan lainnya), serta golongan atau partai politik yang saling menentukan poros, membentuk koalisi dan mendukung kandidat pilihannya masing-masing. 


Tiga koalisi terbentuk, yaitu 1) Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mengusung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, 2) Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, serta 3) Koalisi PDI Perjuangan yang mengusung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Sebagai koalisi, ketiganya menunjukkan citra politik yang efektif menarik perhatian khalayak. Dari mulai isu perubahan yang terus digaungkan, misi keberlanjutan yang melibatkan pengaruh dari presiden sebelumnya, hingga pecahnya PDI Perjuangan dan berbalik menjadi oposisi. Efek hiperrealitas tak terhindarkan seiring masifnya informasi yang tersebar di media sosial. Simulacra terbentuk sedemian rupa, yang memaksa publik untuk lebih keras dalam mencerna setiap informasi, memilah mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai dengan realitas sebenarnya. Puncaknya, terjadi ketika Debat Pemilu 2024 berlangsung. Simulacra yang telah terbentuk sebelumnya memainkan peranan penting seiring pasangan calon masing-masing menyampaikan visi dan misinya. Beragam kesan yang tercerna oleh publik pada akhirnya menentukan kemana arah pilihan mereka kedepannya. 


Selama proses kampanye berlangsung, tidak ada yang lebih menarik selain mengkaji bagaimana masing-masing calon pasangan dan koalisi pengusungnya membentuk citra politik, branding diri melalui berbagai media kampanye, tak terkecuali media sosial yang akan membentuk Simulacra politik nantinya. Mari kita fokus pada pasangan calon nomor urut 2 Prabowo-Gibran sebagai pemegang elektabilitas tertinggi dan nomor urut 3 Ganjar-Mahfud sebagai pemegang elektabilitas terendah beserta koalisi pengusungnya. Diawali dengan keberhasilan pasangan calon nomor urut 2 meraih elektabilitas paling tinggi di berbagai lembaga survei. Seperti apa citra politik, branding diri, dan pola kampanye yang digunakan oleh pasangan calon Prabowo-Gibran dan koalisi pengusungnya. 


Prabowo-Gibran dan koalisinya sejak awal telah merancang branding diri dan citra politik secara konsisten. Hal ini terlihat dari cara mereka dalam memanfaatkan bahasa gaul anak muda yang sedang tren di masyarakat yaitu 'gemoy'. Istilah ini kemudian dijadikan sebagai bahan branding pasangan Prabowo-Gibran yang menggunakan citra politik dengan positioning 'melanjutkan' pemerintahan sebelumnya yaitu Jokowi. 


Prabowo yang memiliki kesan tegas dan keras dipupus dengan istilah gemoy yang memiliki makna lucu dan menggemaskan dalam konteks positif. Sementara target audiens dari pasangan calon dan koalisi ini adalah anak muda. Dengan positioning 'melanjutkan', Prabowo-Gibran menggunakan tagline 'Indonesia Maju'. Visual branding yang digunakan disesuaikan dengan target audiens yaitu anak muda seperti gambar yang dibuat dari teknologi AI (artificial intelligence) dengan wajah chubby dan penggunaan istilah gemoy. 


Sasaran ini relate dengan jumlah pemilih muda yang mendominasi Pemilu 2024 yaitu kurang lebih 113 juta atau 56,45% dari total pemilih. Citra politik pasangan Prabowo-Gibran dan koalisinya juga tampak dalam konsistensi penggunaan seragam warna biru muda. Seragam ini tidak hanya dikenakan oleh mereka tapi juga para pendukungnya, khususnya ketika melakukan debat capres-cawapres. Konsisten dalam penerapan visual branding, termasuk seragam, adalah salah satu kunci dalam membangun citra politik agar mudah dikenali oleh target audiens. 


Sementara itu, apa yang membuat pasangan calon Ganjar-Mahfud beserta koalisi pengusungnya mendapat elektabilitas paling rendah di berbagai lembaga survei, di luar faktor manufer politik yang dilakukan koalisi pengusungnya. 


Konsep branding diri dan pembentukan citra politik yang dilakukan oleh pasangan calon Prabowo-Gibran dan koalisi pengusungnya tidak diikuti oleh Ganjar-Mahfud dan koalisi pengusungnya. Pasangan calon dan koalisiya ini justru tampak kebingungan dalam membangun citra (image). Positioning 'gerak cepat' atau 'sat set' masih ragu untuk ditampilkan dalam elemen-elemen branding diri. Koalisi ini justru berusaha menjejalkan informasi yang banyak untuk menarik hati publik. Padahal, strategi seperti ini justru membuat publik mudah melupakan. Dalam branding diri, harus ada positioning yang jelas untuk menunjukkan kepada publik bahwa pasangan ini mau dikemanakan. Ada banyak tagline yang berbeda dalam setiap branding diri dan pembentukan citra politik pasangan calon Ganjar-Mahfud beserta koalisinya, seperti Indonesia Maju, Gerak Cepat, Ganjar Presiden Rakyat, Indonesia Unggul, hingga Indonesia Lebih Baik. Ketidakkonsistenan dalam pembentukan citra (image) akan menjauhkan dari kejelasan identitas diri pasangan calon sehingga membingungkan publik. 


Pasangan calon Ganjar-Mahfud beserta koalisinya ini memang tidak mudah dalam menentukan positioning apa yang ditentukan. Hal ini karena jika mereka melanjutkan program Jokowi, maka akan bertabrakan dengan pasangan calon Prabowo-Gibran yang sejak awal konsisten meneruskan program Jokowi. Sebaliknya, jika mereka menggunakan perubahan, telah ada pasangan calon Anies-Muhaimin beserta koalisinya yang konsisten berlawanan dengan pemerintah Jokowi. Maka jalan terbaik adalah konsistensi dalam membangun positioning 'gerak cepat' yang selama ini belum tergarap dengan baik. 


Konsistensi dalam penerapan branding diri dan citra politik sangat penting untuk menciptakan image di mata publik. Konsistensi akan menciptakan kepercayaan antara komunikator politik (kandidat/pasangan calon) dengan konsumen politik (publik). Artinya, dalam proses pembentukan branding diri dan citra politik tidak boleh berubah-ubah, dalam rangka membentuk karakter yang kuat di mata publik. Konsistensi ini meliputi penyampaikan pesan, baik secara verbal maupun visual yang ditampilkan di setiap media yang digunakan. 


-Dilla Annisa, Magister Ilmu Politik, Konsentrasi Politik Digital, Universitas Diponegoro

Post a Comment

0 Comments